Oleh Purwo Santoso[1] dan Nasiwan[2]

Penulis memiliki hipotesis bahwa spirit dari acara ini adalah untuk menghapuskan hegemoni diskurusus muslim bukan partisipan, orang Islam (komunitas Islam) memiliki hak yang sama dengan elemen bangsa lainya untuk memakai predikat negarawan, yang disebut sebagai ’ muslim itu negarawan’. Spirit tersebut dalam dibaca sebagai standing position untuk melakukan ikhtiar dekonstruksi terhadap diskursus yang selama ini sudah mapan.Diskursus yang diproduk oleh negara dan para aktor negara yang selama beberapa periode berkempatan mengelola negara Indonesia.

Ikhtiar dan kerja-kerja intelektual untuk melakukan pembongkaran terhadap diskursus yang sudah mapan sangat penting untuk memberikan payung intelektual bagi membuka keterlibatan Muslim dalam menggunakan dan mengelola negara yang bernama Indonesia. Basis argumentasi yang mapan bagi keterlibatan dan hak moral Orang Islam dalam menggunakan negara atau bekerja dalam rangka negara sangat penting dan strategis. Hal tersebut antara lain dikarenakan selama Indonesia berdiri ada semacam diskursus yang tidak balance, tentang penggunaan kata negarawan, seolah-olah bukan untuk para aktivis Islam, mengapa?

Dalam kontekstasi antar ideologi yang hidup di suatu bangsa, khususnya untuk konteks Indonesia dalam waktu yang panjang demikian jika Islam diposisikan sebagai ideologi, sementara itu juga ada idoelogi lain seperti nasionalisme, sosialisme, maka kemusliman-keislaman seseorang sering kali menjadi barier untuk tampil dalam politik Indonesia.

Ideologi Islam yang biasanya dipadankan dengan perjuangan menegakkan syariah Islam (piagam Jakarta), yang diangkat oleh para aktivis Islam khsusnya partai-partai Islam, seolah-olah menjadi langkah untuk membentuk citra tidak berhak atau setidak-tidaknya dipertanyakan jika para aktivisnya memakai sebutan negarawan. Pendek kata Pintu syariah versus non syariah dalam wacana hampir selalu dimenangkan oleh kelompok non syariah. Para aktivis yang mengusung non syariah seolah lebih berhak menjadi negarawan.

Probelematika negara Islam ? berkaitan dengan isu syariah Islam, hal ini ada kaitannya dengan problematika Negara Islam. Yakni dengan lebel negara Islam tidak serta merta ajaran Islam dan ummat Islam menjadi semakin berkualitas, jika Islam itu hanya dijadikan sebagai komoditas saja. Maksudnya Islam hanya dijadikan sebagai mobilisasi loyalitas umat dalam momen-momen politik.

Masuk pada pertanyaan mendasar yang menjadi tema sentral diskusi menurut penulis perlu dipertanyakan, Muslim negarawan mungkinkah? Jawabannya adalah Mengapa tidak? Persoalanya pada sisi empiris politik di Indonesia, oleh berbagai kekuatan politik yang ada, dijumpai suatu realitas politik yang menyatakan kurang lebih bahwa Politik Islam selalu dipersepsikan sebagai partisisan, faksional.

Pertanyaan berikutnya berkaitan dengan wacana peminggiran politik Islammengapa wacana — pengetahuan kolektif– masyarakat Indonesia berpandangan bahwa Islam itu partisan kelompok tertentu bukan aktor yang pantas mewakili negara. Sekiranya ada aktor dari kalangan Islam yang mewakili negara atau masuk bekerja dalam ranah negara tetap saja ada semacam gugatan atas kenegarawannya. Tetap ada tanda tanya?

Mengapa wacana itu melekat?

Hal tersebut antara lain dapat dijelaskan melalui struktur pemaknaan politik Islam yang diposisikan hanya sebagai sub dari politik negara, gambaran tersebut antara lain terlukiskan dalam buku klasik karya Lance Caslte dan Herbet Fieth, “Pemikiran Politik Indonesia”, dan karya –karya para sarjana lain yang datang sesudahnya, berbeda dengan pandangan komunitas Muslim dalam banyakpengkajian yang berkeyakinan ‘ Islam kaffaah ‘ fakta empirisnya belum sejalan dengan keyakinan umat Islam.

Padahal sebagaimana diketahui Wacana itu merupakan software untuk menggiring perilaku konkrit. Hal tersebut didukung oleh adanya kenyataan banyak orang merasa tidak bersalah memiliki pandangan atau setuju dengan pandangan bahwa politik Islam adalah sub dari institusi lain, itu bukti bahwa wacana mengendalikan perilaku.

Warisan sekulerisme hadir di Indonesia dan mengkerangkai cara berfikir kita tentang negara. Bukti adanya kekuatan sekularisme dapat dilacak pada adanyakenyataan terjadinya ketegangan Islam dan nasionalis pada tahun 1950-an yang efeknya masih terasa sampai hari-hari ini. Dalam kontestasi ini ternyata Ummat Islam tidak bisa mengendalikan frame yang digunakan untuk mengarahkan masyarakat Indonesia, khususnya para elitnya.

Dengan demikian tidak salah kiranya jika dinyatakan bahwa Muslim negarawan itu merupakan perjuangan pada arus lembut (software) untuk perjuangan diaras lain, seperti ekonomi, politik, kebudayaan, dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Jika umat Islam tidak berhasil membongkar hegemoni pemikiran – diskursus—yang selama ini bercokol dalam benak pemikiran masyarakat Indonesia maka keberhasilan perjuangan pada aspek lainya menjadi sempit peluang keberhasilannya. Dalam jangka panjang ketika secara akumulatif diskursus politik kenegaraan tertutup bagi peran-peran aktivis Muslim, maka tinggal soal waktu peran –peran secara real dalam politik kenegaraan akan tertutup.

II

Bagaimana cara membongkarnya? Pembongkarannya dapat dirunut dengan membaca ulang secara kritis bahwa kehadiran negara kebangsaan ’nation state’ yang pada saat nanti menjadi pijakan –lapangan bermain (kompetisi) antara berbagai aktor yang menisbahkan dirinya dengan negara, dalam kehidupan politik modern dikerangkai dengan tatanan sosial yang disebut demokrasi. Dengan kata lain pintu masuk untuk bisa menggunakan instrumen negara secara syah adalah hanya melalui tatanan demokrasi (the only one game in town).

Dalam frame nation state yang dirangkai dengan tatanan demokratis, peluang pintu masuk untuk menggunakan instrumen negara bagi berbagai kelompok masyarakat, termasuk masyarakat Islam adalah melalui partai politik. Tidak banyak tersedia pilihan lain kecuali lewat partai politik. Disinilah titik persoalan dan dilema mulai ditemukan.

Mengapa yakni karena muslim harus lewat pintu partai, dalam memasuki ranah negara, oleh karennya menjadi berpeluang dan diberi cap partisan.Tidak merupakan wakil seluruh warga bangsa dan karena hal tersebut menjadi banyak kendala untuk lahir menjadi Muslim negarawan dari kalangan aktivis Partai Islam di IndonesiaMenghadapi kondisi yang komplek ini, kita perlu bertanya masih adakah secercah harapan untuk memulai langkah-langkah dekonstruksi? Dalam pandangan penulis sebenarnya dalam sejarah gerakan Islam di Indonesia cukup tersedia eksperimen yang bisa menjadi inspirasi untuk melakukan dekonstruksi hegemoni yang meminggirkan Islam. Eksperimen yang dimaksud adalah adanya strategi gerakan dakwah politik kultural yang lebih populer dengan istilah kembali ke khittah NU 26. Dalam konteks pembahasan ini gerakan kembali ke khitah 26 dapat dibaca sebagai benih-benih pemikiran agar keislaman seseorang tidak menjadi barier untuk menjadi negarawan di Indonesia ( Islam subtansial). Demikian juga langkah yang sama dilakukan oleh Muhammadiyah dengan kembali ke khittoh 1971, serta gerak Dewan Dakwah Indonesia pada era pemerintahan Orba dalam batas tertentu dapat dibaca sebagai untuk melakukan dekonstruksi hegemoni yang memonopoli pengelolaan negara untuk kelompok tertentu.

Mempertimbangkan dilema dan kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam mungkin bermanfaat untuk dipertimbangkan suatu pandangan bahwa Keislaman itu tidak harus dinilai dari syariah, tetapi keislaman itu dapat dimulai dari sisi akhlak, yang kemudian menjadi kenyataan sosiologis, menjadi perilaku masyarakat yang kemudian pada tahapannya menjadi norma, lembaga, dan sruktur sosial, ekonomi dan harus diakomodasi dalam berbagai kebijakan negara.

Partai-partai Islam seperti halnya PKS, PPP dll berada dalam posisi unikkarna pada satu sisi masuk wilayah partai siap untuk dicap sektarian tetapi inline untuk menjadi negarawan, dengan demikian tingkat kesulitan yang dihadapinya menjadi lebih rumit. Pintu masuk ke wilayah negara bisa melalui organisasional (semisal partai, ormas) dengan demikian kehadirannya dalam ranah negara bukan hanya kebetulan tetapi by desain, dengan segala perlengkapan intelektual yang dibutuhkan.

Dalam konteks ini maka kaderisasi pemimpin perlu dilakukan dengan dua wajah, yakni melalui partai, agar tahu medan politik (keakuan) sebagai kelompok umat, tetapi juga pada saat lain menduduki jabatan simbolik sebagai representasi negara, supaya muncul ’kekamian’ keindonesiaan?Apakah parta partai Islam (PKS,PPP,PBB) dan lainnya sudah melakukan pengkaderan model itu.

Perlu disadari bahwa negara yang demokratis tidak akan terwujud jika setiap faksi behenti dan selesai pada berfikir model faksi”keakuan ’saja, melupakan berfikir kekamian. Memperkuat pernyataan diatas dapat disimak bahwa agenda reformasi yang telah dikumandangkan menjadi berceceran karena hampir setiap orang berfikir keakuan saja ( banyak orng membuat partai hanya dalam kerangka keakuannya kelompoknya saja) dan ini cermin miskinnya negarawanan di Indonesia. Kecenderungan praktek politik sekarang lebih banyak memperagakan pintu politik yang faksionalis

Bagaimana dengan aktor politik yang disebut ’Tentara’, tentara dilihat dari historisnya itu berasal dari gerakan rakyat. Oleh karenanya TNI legitimet berpolitik atas nama negara, tetapi ketika berpolitik berubah menjadi faksi yang menyusup melalui DPR pada jaman Orde Baru. Dan baru pada era reformasi sampai sekarang kembali ke barak. Di era pasca reformasi kalau kembali berpolitik tentara berpolitik dengan politik ”negara”.

Patut dicermati pula bahwa ada sinyalemen bahwa tentara seolah -olah membagi peran yakni pensiunan masuk politik sebagai katup pengaman, jika terjadi perkembangan yang tidak dikehendaki tentara sudah ada yang berada dalam wilayah politik. Terkait dengan peran sentral tentara pelu dicermati ulang bahwa tawaran format menjadi negarawan ala orde baru, yang berlangsung sekitar 30 tahun adalah bukan melalui partai. Bahkan dengan cara melumpuhkan partai. Seakan memperagakan bahwa keutuhan Indonesia dikelola oleh tentara melalui lembaga yang zatnya partai tetapi namanya bukan partai, karena tatanan seperti itu tidak diterima secara luas maka tentara diminta kembali ke barak, tentara profesional tapi juga menghadapi masalah baru tidak punya anggaran.

Bagaimana negarawan secara real ada dalam politik indonesia? Kiranya dapat dinyatakan bahwa negarawan tidak bisa lepas dari politik. Siapapun yang akan menjadi negarawan harus mampu mengarungi medan politik. Sampai sejauh ini Muslim belum bisa menjadi icon negarawan, karena terjebak politik identitas,politik muslim, dipertontonkan lebih untuk menggalang mobilitas loyalitas secara periodik untuk kursi, politik muslim tersesat loyalitas kelompok, tidak menggarap nilai substansi Islam, termasuk politik identitas negara Islam.

III

Muslim negarawan adalah mengelola negara dengan akhlak Islam. Dalam konteks berfikir negara maka mensubsidi orang miskin melalui birokrasi, melalui data based yang jelas, melalui anggaran,yang kemudian hadir dalam kebijakan, serta standar operasional. Orang bisa menjadi Indonesia (nasionalis, negarawan) dan menjadi muslim yang baik. Kecuali ada eksepsi dalam hal aqidah.

Birokrasi selama ini belum bekerja untuk menjadi instrumen negara menjadi orang Islam menjadi negarawan, kalau ada isntrumen negara untuk menjalankan membela orang Miskin dan sejenisnya maka berimpit dengan nilai-nilai Islam. Kemudian berujung pada kebijakan publik, tidak disadari oleh partai, seharusnya materi pengkaderan partai menuju agar birokrasi menjadi insrtumen bagi pembela orang miskin. Negara bisa menjadi instrumen. Bisa di nilai dengan nilai-nilai apapun. Hal teresebut menjadi mungkin jika aktivis partai juga nenjadi sosial movement dan motor sosial movement bisa dari kalangan partai, betapa indahnya negeri ini kalau menjadi penggerak memproduk nilai.

Ada kerangka advanted politik dan penguatan negara. Dengan merujuk pada pespektif diatas kiranya perlu disadari bahwa Negara Islam bisa terjatuh pada perilaku membajak negara untuk kepentingan Islam. Kalau akhah Islam ada referensi sosiologis dulu baru dibuat pasalnya, selama ini diberi nama dulusementara itu secara sosiologis belum ada.

IV

Disatu sisi ada nilai nilai konsep yang abstrak disisi yang lain ada kenyataan bahwa kepemimpinan yang diterima adalah kepemimpinan intelektual leadership, karena itu perlu ada prosedur yang dibakukan, dioperasionalkan. Islam menjadi manifest sebagaimana negara lain tetapi tidak harus diberi labelIslam. Contoh tentang budgeting sebagai kholifah para aktivis Islam maka membuat anggaran negara yang memihak kaum dhu’afa, menjaga lingkungan, yang perlu dijabarkan dalam operasionalisasi di birokrasi. Untuk keperluan itu maka analisis dampak lingkungan perlu dipertimbangkan menjadi materi pengkaderan.

Pada akhir tulisan ini kiranya perlu ditegaskan pernyataan bahwa Teologi Islam menjadi referensi dan negara menjadi intrumen untuk menwujudkan, negara bukan untuk sekedar diduduki. Agenda tersebut kalaupuntidak langsung dilakukan oleh partai, tetapi bisa menjadi supporting agenda setting. Siapa aktornya???? apakah dosen ataukah mejelis syuro, terbuka banyak pilihan.

Simpulan mewujudkan Muslim negarawan agenda yang perlu dikawal kedepan. Cara mengawal dengan mempraktekan hal-hal yang bisa diwujudkan, mengakutualkan ajaran Islam secara kontekstual. Supaya kenegarawan Muslim terus bisa dipertahankan maka yang dilakukan bukan hanya mendudukan tokoh Islam tetapi reproduksi wacana Islam yang operasional, semua itu bisa terwujud jika menyepakati framework intelektual leadership, bukan merujuk pada orang tetapi dipimpin oleh ide intelektualitas.


[1] Dosen FISIPOL UGM, dan Pasca Sarjana, Pembantu Dekan bagianAkademik FISIPOL
[2] Dosen FISE UNY, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UGM.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top