Kader dakwah dipahami sebagai sosok yang memiliki muwashafat atau karakteristik tertentu yang telah dipatokan oleh sistem Islam.Proses terbentuknya kader dakwah tentunya melalui alur yang cukup rumit dengan banyak marhalah (tahapan) dan mihwar ( era).
“Saya benar-benar terjebak di jalan kebaikan. Pertama diajak makan-makan rujak ,rekreasi dan tiba-tiba besoknya diajak ngaji.dan jadilah saya seperti ini,” uangkap seorang kader.Dia memang tidak membrontak bahkan kemudian mengecap indahnya DAKWAH.Yang dipertanyakan kemudiaan adalah proses pencapaian kesadaran dia sebagai seorang kader.Sekadar ikut arus,karena memiliki kepentingan,dan tendensi ataukah setelah melalui penjelajahan intelektual yang melelahkan.Ini mungkin yang harus di rethinking oleh para ‘’ Pemerangkap” (baca; da’i).Pada akhirnya memang akan sampai pada wacana metodelogi dakwah yang rasional,argumentatif dan “membebaskan”.
Kasus lain yang mungkin sering terjadi dan mungkin bisa sbg bahan renungan adalah ketika seorang kader dijatuhi ‘Qoror”,untuk memobilisasi massa sebanyak mungkin demi memenuhi quota peserta aksi dng isu tertentu.Satu hal yang naif adalah,tanpa sedikitpun pemahaman kader akan isu yang diangkat,dia berangkat menuju lokasi demonstrasi.
Dalam kacamata qiyadah wal jundiyah hal ini bukan merupakan dosa,bahkan keniscayaan.Namun,disatu sisi akan memandulkan intelektualitas kader,selain juga membuta-tulikan mereka secara perlahan.Pewancanaan isu pada kader dalam tataran grass Root tidak pernah maksimal.Hingga diskusi ,pembahasan dan strategi atau skenario pengopinian hanya ditangan elit jama’ah.Analisis dan sistematisasi isu tidak pernah sampai pada kader dakwah.
Tapi logikanya dapat dibalik,kita sebagai kader bawah,tak mampukah mencapai kesadaran tersendiri tentang sebuah isu atau posisi dan sikap yang harus diambil ketika terdapat sebuah fenomena sosial politik????sebuah idealisme bersama,klader jama’ah akan semakin kritis setelah berada di “atas tanah” seperti sekarang.kita akan semakin sering bersentuhan dengan masyarakat yang plural.kita akan menjumpai dualitas struktur dan praktik sosial.Dan masyarakat ini lebih mengedepankan budaya toleran dan rasional.
Karena itu pemahaman akan kesadaran internal pelaku sosial(baca;kader dakwah) adalah suatu fundamental.Hingga tidak timbul sebuah gugatan,apakah kita wayang yang berada di genggaman tangan dalang.
Anthony Giddens memberikan sebuah jawaban,bahwa pelaku tahu,tapi belum tentu sadar.Giddens membagi 3 dimensi internal pelaku :
1. Motivasi tak sadar
Yang menyangkut b keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan tapi bukan tindakan itu sendiri.
2. Kesadaran Diskursif
Yang mengacu pada kapasitas manusia dalam merefleksi dan memberi penjelasan eksplesit dan rinci atas tindakan yang kita lakukan.misalnya mengapa saya mengikuti liqo atau halaqah ini.Mungkin saya akan memberikan jawaban,”karena saya membutuhkan siraman dan pencerahan spritual’ atau “karena sayua ingin mendapat informasi jamaah”,dstr
3. Kesadran Praktis
Menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai.Kesadaran praktis inilah yang kemudian sebagai kunci memahami fenomena piranti yang tersublim sebagai sistem yang mengikat.kita tak perlu bertanya mengapa untuk mendapatkan sebuah petunjuk pilihan,maka shalat istikharah adalah jalanya.Dalam tahapan inilah kasadaran spritual-religius telah tersistem dalam diri seorang kader dakwah.Kesadaran praktis ini tercipta melalui proses integralisasi keinginan (gharizah) dan ajaran agama.Tentu ada istimroriyah
( kontiyuanitas) dalam proses tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar