Saat lembar-lembar sejarah dibuka, maka catatan-catatannya selalu memberikan kesimpulan yang sama; bahwa Rasulullah adalah model paling ideal dalam panggung sejarah kepemimpinan ummat manusia. Bukti ini bukan sekedar kebenaran intrinsik ummat Islam melalui doktrin wahyu; bahwa Rasulullah sebagai uswah hasanah. Lebih dari itu, progresifitas kaum Muslimin dibawah kepimpinannya; telah mengubah peta dan pusat sejarah dunia selama puluhan abad. Catatan sejarah juga menunjukkan pengakuan
akan kepemimpinan Rasulullah dari kaum Yahudi, Nashrani dan seluruh etnis/kabilah yang ada di Madinah. Pengakuan itu tertuang jelas dalam Piagam Madinah sebagai konsensus politik dari seluruh elemen penduduk Madinah.

Karena itu, sejak awal kehadirannya, muslim dengan sejarahnya telah meletakkan eksistensinya sebagai pemimpin dunia dan pengelola alam semesta. Tidak ada satu alasan historis-psikologis yang tepat bagi kaum muslimin untuk menjadikan dirinya sebagai pecundang peradaban.

*PROBLEMA KEPEMIMPINAN*

Catatan historiografi sejak abad ke-7 Masehi yang kita miliki telah memberikan /positioning/ yang istimewa kepada kaum muslimin. Secara kolektif, kaum muslimin adalah penguasa peradaban; secara personal, muslim adalah intelektual, agamawan dan sekaligus menjadi tentara yang siap berjihad. Pada awal kelahirannya; muslim tidak mengenal pembelahan kepemimpinan; semuanya eksis pada diri personal pemimpin muslim. Sebelum menjadi pemimpin negara, seorang muslim dituntut untuk membina dan membentuk karakter dirinya di masjid-masjid sebagai lembaga agama. Hasilnya; seorang pemimpin muslim merupakan perpaduan unik antara kejeniusan seorang politisi/negarawan, keshalihan imam masjid dan kecerdasan seorang faqih. Profil seperti ini secara jelas terlihat pada kepribadian Rasulullah dan para khalifah Rasyidah beserta seluruh struktur kunci dalam pemerintahannya.
Namun, tragedi politik pembunuhan khalifah Utsman bin Affan r.a. mulai memunculkan bibit-bibit permasalahan yang serius. Salah satu masalah utama yang dihadapai ummat adalah keterpisahan atau dikotomi kepemimpinan pemikiran dengan kepemimpinan politik; antara kepemimpinan agama dengan kepemimpinan negara; antara kepemimpinan struktur dengan kepemimpinan sosial. Para pemimpin agama berada diluar pagar negara; dan sering menjadi korban penguasa. Seorang tabi’in, Sa’id bin Jubair r.a. dipenggal kepalanya oleh Gubernur Madinah al-Hajjaj bin Yusuf
ats-Tsaqafi, Imam Malik cacat tangannya karena berfatwa kebatalan talak orang yang dipaksa, adapun Imam Ahmad bin Hanbal dianiaya dan disiksa karena menentang kedzaliman Khalifah yang memaksakan aqidah Mu’tazilah sebagai aqidah ummat dan negara.

Adapun para pemimpin politik terjebak dalam kebodohan. Mereka membunuh dan menindas setiap bentuk perlawanan, dan pemerintahan Islam berubah menjadi pemerintahan otokrasi yang kejam, yang memperlakukan rakyat dengan kebengisan, yang tidak menyediakan tempat untuk syura’ dan partisipasi ummat dalam menjalankan urusan ummat (negara).

Pecahnya kepemimpinan ummat ini lambat laun memberikan akibat yang lebih parah; keadaan ini telah memudahkan sekulerisme untuk menanamkan doktrin-doktrinnya. Persentuhan intensif dengan dunia Barat telah memindahkan pertikaian kaum gereja dengan kaum intelektual pada abad ke-15 ke negeri-negeri muslim. Kepribadian pemimpin muslim akhirnya terbelah; para ulama’ dan cendekiawan agama berada di luar pagar negara; mereka mengalami kesulitan yang serius untuk mengadvokasi
masalah-masalah ummat, karena ruang geraknya dibatasi oleh para pejabat negara. Mereka kerap kali tidak berdaya jika ada kebijakan-kebijakan negara yang sering menyengsarakan dan merugikan kepentingan ummat Islam.

Sebaliknya para pemimpin negara yang jauh dari pendidikan Islam; mereka bodoh dengan nilai-nilai Islam; jiwa dan ruh mereka tidak lagi dicelup dengan celupan ideologi Islam. Akibatnya, mereka sering melahirkan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang berseberangan dengan nilai-nilai universal Islam; mereka menjadikan pemerintahan sebagai lembaga yang korup; mereka telah menjauhkan negara dari fungsi dasar untuk melayani kepentingan ummat; mereka jarang untuk menyerap secara langsung aspirasi
ummat dari basis sosialnya yang paling utama yaitu masjid; para pemimpin negeri muslim malas melakukan investigasi langsung.

*KAMMI : GERAKAN TAJDID KEPEMIMPINAN UMMAT*

Pembacaan spesifik pada sejarah ummat Islam di Indonesia juga memberikan kesimpulan yang hampir sama dengan negeri-negeri muslim lainnya. Dilema dikotomi kepemimpinan telah memasuki fase yang amat serius. Problema kepemimpinan ini harus segera diselesaikan. Ummat ini tidak akan kembali meraih sejarah emasnya, jika persoalan dikotomi kepemimpinan ini terus berjalan. Harapan penyelesaian itu terletak pada kendaraan besar “gerakan tajdid” dan isu global kebangkitan Islam. Gerakan tajdid tidak
bisa direduksi sebagai isu pembaharuan fiqh semata; tapi tajdid berarti pembaharuan ummat secara menyeluruh dan totalitas menyangkut seluruh aspek nilai dan perilaku didalam Islam.

Salah satu bagian kunci dalam gerakan tajdid yang totalitas adalah tajdid (pembaharuan) kepemimpinan ummat. Gerakan ini harus menjadi agenda prioritas dari setiap gerakan Islam. Bahwa pemimpin-pemimpin muslim harus lahir dari kantong-kantong basis muslim yaitu masjid. Dengan demikian, sejak awal mereka terbiasa mengkaji permasalahan ummat, bekerja bersama ummat, dan mengikatkan diri dalam simpul-simpul sosial ummat. Bahwa seorang negarawan semestinya memiliki spesifikasi sebagai
seorang ulama’; dan sebaliknya seorang ulama’ juga sekaligus memiliki kemampuan sebagai seorang negarawan.

Reformasi 98 dapat dipandang sebagai titik tolak dari momentum penyatuan kepemimpinan ummat. Mengapa? Kehadiran KAMMI sebagai gerakan mahasiswa
yang aktif dalam melakukan mobilisasi perlawanan; menunjukkan peran strategis masjid kampus dalam menyelesaikan krisis nasional. KAMMI telah menunjukkan semangat kepeloporannya dalam gerakan tajdid kepemimpinan ummat. Sebagai organ gerakan, KAMMI menunjukkan dirinya sebagai gerakan kader yang solid; gerakan yang berhasil menggerakkan massa dari kantong-kantong basis ummat di masjid kampus. Kesatuan shaf gerakannya merefleksikan kesatuan shaf shalatnya; yang dipancarkan dari nilai-nilai Islam yang tinggi.

KAMMI telah hadir sebagai sebuah tesis baru tentang kepemimpinan. Bahwa para imam-imam masjid kampus memiliki kemampuan yang memadai untuk mengelola negara kepulauan ini. Bahwa para ahlul qurra’ telah terampil mengkaji agenda-agenda politik dan strategis ummat; serta memperjuangkannya menjadi kebijakan politik yang memihak pada kepentingan ummat Islam di Indonesia. KAMMI adalah tesis kebangkitan yang telah lama hilang dalam arus sekulerisasi kepemimpinan ummat. Tesis ini muncul bersamaan dengan isu global kebangkitan Islam di hampir semua negeri muslim yang juga menghadapi problem kepemimpinan yang sama.

Gerakan KAMMI dapat dibaca sebagai representasi gerakan tajdid (pembaharuan) kepemimpinan ummat yang utama di Indonesia. KAMMI menjadi salah satu lembaga kaderisasi kepemimpinan yang mendekati corak kepemimpinan ideal Islam dalam nilai dan praktisnya. Apakah hal ini tidak berlebihan? Mengapa kepemimpinan KAMMI tampak begitu istimewa?

*Pertama,* titik tolak pergerakan KAMMI adalah masjid kampus; basis kepemimpinannya dibentuk dan ditumbuhkan di masjid kampus. Karena itu kepemimpinan KAMMI adalah kepemimpinan masjid. Secara filosofis, kehadiran KAMMI sebagai gerakan dari masjid kampus menunjukkan eksistensi spiritualitas dalam tubuh gerakannya. Kerangka analisisnya menjadi istimewa karena sangat kental dan dekat dengan masjid. Di samping itu, masjid merupakan perhimpunan sosial yang paling strategis dalam menggerakkan potensi dan ruh ummat Islam; kadar potensinya melebihi simpul-simpul sosial yang lainnya. Di dalam masjid, ummat biasa mendiskusikan masalah-masalah mereka, bermusyawarah untuk menemukan kesepakatan-kesepakatan yang bisa mendekatkan diri mereka dengan Allah. Masjid berpotensi menjadi sel politik terkecil dari ummat Islam. Sayangnya, potensi ini telah berhasil diredam oleh rezim orde baru melalui aksi-aksi terornya.

*Kedua,* kampus adalah lembaga yang paling produktif dalam melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa; kampus adalah lembaga persemaian ide untuk merehabilitasi Indonesia yang ditimpa multi-krisis. Adapun KAMMI ditubuhkan dalam forum masjid kampus. Kehadiran gerakannya memadukan dua corak kepemimpinan; kepemimpinan agama sekaligus kepemimpinan pemikiran; masjid adalah basis agamanya, kampus adalah basis pemikiran inteleknya. Secara historis di Indonesia, gerakan kampus selalu menjadi motor perubahan yang paling signifikan. Di mulai dari Budi Utomo, Sumpah
Pemuda, Peristiwa Rengasdengklok, Gerakan Tritura 1966 hingga gerakan reformasi 1998 menjadi bukti tak terbantahkan. Dengan demikian, KAMMI memiliki energi intelektual dan energi spiritual sekaligus.

*Ketiga*, gerakan tajdid kepemimpinan ummat adalah gerakan global di seluruh bagian dunia Islam. Eksperimen-eksperimen mutakhir di negeri-negeri muslim menunjukkan tipologi kebangkitan yang hampir sama. Fenomena ini menjadi alasan yang paling penting dalam mengubah peta kekuatan dunia. Dan dalam perhimpunan besar dari gerakan-gerakan kebangkitan, KAMMI telah memulai bekerja dengan cabang-cabangnya yang mapan di luar negeri. Sejak dini, KAMMI telah aktif dan larut dalam melakukan perbincangan internasional dalam menata kebangkitan global Islam; sebuah eksperimen penting dalam upaya melakukan /take over/ kepemimpinan di negeri ini.

Tiga keistimewaan ini adalah indikator yang paling strategis bagi potensi KAMMI sebagai lembaga kaderisasi kepemimpinan nasional. Mental, spiritualitas, intelektualitas, serta jaringan yang luas telah memberikan perspektif kepemimpinan yang istimewa. Kini, kuncup harapan itu telah kembali mekar. Jalan da’wah dan kebangkitan negeri dijalani
oleh tentara da’wah dengan ikatan hati yang paling kokoh. Tangan bergenggam tangan, selalu teguh dalam barisan, untuk maju atau hancur bersama. Tidak ada kebencian dan pertikaian diantara mereka, karena sesungguhnya mereka sehati. Semoga ikatan hati dalam gerakan ini menjadi lebih kokoh, karena itulah rahasia yang paling mistik dari sebuah /moving/ kebangkitan.

“Sejak dulu hingga sekarang, pemuda merupakan pilar kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan, pemuda merupakan rahasia kekuatannya. Dalam setiap fikrah (pemikiran), pemuda adalah pengibar panji-panjinya”

*[Asy Syahid Hasan al-Banna – Risalah Pergerakan I]*

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top