Beranjak dari sebuah terminal pemberangkatan di dalam realita kehidupan. Saya menemukan berbagai fenomena, munculnya beberapa fitnah yang menghadang Islam. Dien yang Agung ini dengan serta merta di pandang rendah, buruk, kejam dan hal-hal lain yang di lekatkan oleh manusia yang tidak bisa bersikap objektif terhadap Islam. Banyak juga insan yang salah kaprah dalam mewajahkan Islam di dalam dirinya.
Siapakah Muslim itu ?
Hal ini yang harus kita wacanakan dalam benak dan kita pahami agar kita mampu memakai kaca mata objektif untuk memandang seorang muslim. Sejak kapan seorang itu resmi menjadi muslim ? dan apakah yang menjadikannya muslim ?. Realita yang kita temui kebanyakan seorang menjadi muslim karena kedua orangtuanya dan keluarganya adalah muslim namun ini merupakan persempitan ruang untuk mengantarkan seseorang menjadi muslim.
"Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya. Keduanya orang tuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi.." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Islam adalah fitrah, maka selayaknya kita memandang bahwa setiap anak yang di lahirkan adalah sesuai fitrah atau ia dilahirkan sebagai Muslim. Klaim ini mungkin di anggap tidak adil bagi saudara kita yang di luar muslim. Namun inilah bentuk keimanan, kita mempercayai konsep ini karena ia dituturkan langsung oleh Allah SWT dan di perjelas melalui kabar yang di sampaikan dan dituturkan oleh Rasulullah SAW, dan ini pula lah konsekuensi dari ucapan dan Perjanjian dalam Syahadatain. Syahminan Zaimi, berbagi dengan kita tentang dialog Alah SWT dengan ruh manusia. Beliau tuangkan dalam bukunya Perjanjian Ketuhanan, (1981).
Dialog Perjanjian Ruh Kita dengan ALLAH SWT
Perjanjian Kita dengan ALLAH SWT, dalam keimanan Islam sudah terjadi tatkala ruh kita sebelum ditiupkan ke dalam jasmani. Ruh kita sudah pernah berdialog dengan ALLAH SWT dalam suatu perjanjian yang kelak akan dimintai pertanggung jawabannya, sebab janji itu pasti akan ditagih kelak di akhirat. Inilah dialog ruh kita dengan ALLAH SWT:
ALLAH SWT bertanya kepada ruh : ”Bukankah Aku ini Tuhanmu”
Roh menjawab : ”Benar!, Kami telah menyaksikan”
Peristiwa inilah yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai ”Abdullah” perjanjian ”Ketuhanan” antara ALLAH SWT dengan manusia dan sebaliknya. Perjanjian ketuhanan yang kemudian terlukis dalam tiap-tiap jiwa manusia, sebagai ukuran dasar rohaniyah, yang membawa lahir ke alam terang ini sebagai fitrah. Hal ini diungkapkan dalam surat AL-A’raf ayat 172, yang artinya:
”Dan (Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan turunan anak Adam dari tulang punggungnya dan Tuhan mengambil kesaksian dari mereka sendiri, firmanNy: ”Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka (roh manusia menjawab: ”Benar! Kami telah menyaksikan”. Nanti di hari Qiamat agar kamu tidak mengatakan: bahwa, ”kami lalai terhadap hal ini. (QS. Al-A’raf 172).
Ayat tersebut, mengandung pemahaman tentang:
1. Manusia telah diciptakan ALLAH SWT atas fitrah Islam
2. Dalam Jiwa manusia telah disiapkan ALLAH SWT gharizah (naluri) iman
Konsekuensi dari orang yang berjanji adalah memenuhinya oleh karena adanya perjanjian kita dengan ALLAH SWT, adalah pemenuhan akan perjanjian tersebut untuk dimintakan pertanggung jawabnya di akhirat nanti. Bagi setiap perjanjian tentu ada konsekuensinya, yaitu berupa hak dan kewajiban pada kedua belah pihak ( pihak: ALLAH dan Kita) yang mengadakan perjanjian. Hak adalah sesuatu yang harus diterima oleh satu pihak dari pihak lainnya, karena ia telah memberikan suatu kepada pihak lain. Dan kewajiban ialah sesuatu yang harus diberikan atau dikerjakan oleh satu pihak kepada/untuk pihak lainnya, karena ia telah menerima sesuatu dari pihak lain itu.
Hal ini diingatkan kembali ketika kita berada di dunia fana ini, yaitu :
”Dan adalah perjanjian ALLAH itu akan ditanyakan” (QS. Al-Ahzab, 15)
”Orang-orang yang menyempurnakan perjanjian ALLAH dan tidak merusak akan ikatannya” (QS. Ar-Ra’du, 20)
Sekarang, jelaslah bagi kita bahwa kita memang sudah pernah mengadakan perjanjian dengan Tuhan, dan perjanjian ini membekas dalam jiwa kita sebagai fitrah bertuhan yang Esa (ALLAH SWT) atau beragama. Perjanjian ini diadakan sewaktu roh kita dalam arwah, belum ditiupkan ke dalam jasmaninya.
Dari pemaparan Syahminan Zaimi tersebut, maka wajarlah jika kita berkesimpulan bahwa setiap insan yang dilahirkan ke bumi dalam keadaan beriman. Kemudian ketika kita akan mengamati lebih dalam lagi siapakah muslim itu. Maka izinkan saya ajak anda kembali menengok arti Islam sebagai dien yang telah saya paparkan sebelumnya. Untuk mempermudah memahaminya. Saya akan ilustrasikan kedalam sebuah gambaran tentang tingkatan dien Al Islam.
Disini tergambarkan derajat dien Islam. Bahwa Islam tingkatan terendah, kemudian Iman lebih tinggi dari Islam dan Ihsan merupakan puncak dalam tingkatan dien Islam. Agar tidak keliru untuk memahaminya ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan. Jika kata Iman dan Islam di sebut salah satunya secara terpisah di dalam ayat atau hadits maka maknanya sama saja. Makna Iman termasuk pula makna Islam dan makna Islam termasuk pula makna Iman. Namun jika disebut secara bersamaan maka makna keduanya berbeda. Makna Islam adalah amalan lahiriyah (badani) sedang makna Iman adalah amalan batiniyah (hati).
Seseorang dikatakan Muslim adalah apabila seseorang menerima Islam sebagai agamannya. Jika ia melepas ikatan Islam dalam dirinya maka sejak itu pulaia kafir dan keluar dari Islam. Namun siapapun diantara manusia, entah yang berkulit hitam maupun putih. Entah ia berada di timur atau di barat, diutara atau di selatan, melayu atau arab ketika ia mengucapkan dua kalimat Syahadat dan menerima segala konsekuensinya maka sejak itu pula lah ia menjadi muslim. Ia tunduk tunduk terhadap Allah dan rasulNya. Kemudian ketika kita membentangkan kufur secara definifnya maka kufr adalah penolakan terhadap nilai-nilai syahadatain. Perbedaan Muslim dan Kufr bisa kkita lihat secara jelas dalam firman Allah SWT :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al Maidah : 44)
Mari kita refleksikan kembali jika memaknai muslim sebagai salah satu subjek/pelaku ajaran Islam. Kemudian dien Islam terbagi berdasarkan tingkatannya. Ternyata pelakunya pun bertingkat-tingkat namun keluasannya berkebalikan.
Sebuah uraian untuk menjelaskan gambarannya. Setiap muslim ia belum tentu akan mencapai tingkatan beriman, kemudian seorang yang beriman pun belum tentu akan mencapai derajat muhsin. Namun seorang muhsin ia pasti beriman dan berIslam dan seorang Beriman sudah pasti ia pun seorang Muslim. Tingkatan tersebut bukan bermaksud unuk menjadikan golongan di tubuh pelaku dien Islam namun hanya untuk meinterpretasikan nilai kualitas seseoarang yang menerima Islam sebagai diennya. Maka kata Muslim di pakai sebagai kata yang lebih umum dan agar mcakup lebih luas nilai-nilai peran seorang yang beragama Islam. Berikutnya akan saya tuturkan sebuah gambaran idealis seorang Muslim dan seharusnya beginilah ia menampilkan wajah Islam di dalam dirinya. Keberislaman seseorang harus senantiasa di tampakkan, apa lagi di era keterbukaan seperti sekarang ini. Beginilah gelegar kata yang terploklamirkan dalam diri seorang Muslim “Isyhadu bi ana Muslimin”, saksikanlah bahwa diriku seorang Muslim.
Seorang Muslim senantiasa menundukkan wajahnya di hadapan Allah dan Rasulnya, dalam arti Muslim adalah yang taat, tunduk dan patuh akan perintah Allah SWT dan RasulNya. Ia senantiasa bersearah diri kepada Allah SWT. Ia senantiasa mensucikan dan membersihkan diri secara lahir dan batin. Ia senantiasa mengupayakan keselamatan di dunia dan berharap keselamatan di akhirat. Senantiasa membawa nilai-nilai perdamaian ke seantero berbagai pojok di bumi Allah. Seorang Muslim senantiasa menghujamkan di dalam dadanya dua kalimat syahadat dan setia dan komitmen atas segala konsekuensinya. Ia senantiasa mendirikan Shalat, dan menjalankan pula nilai-nilai shalat dalam segmen hidupnya diluar shalat. Ia senantiasa ikhlas menunaikan zakat dari zakat fitrah sampai zakat mal berbagi secara kelebihan ekonomi kepada saudaranya yang membutuhkan. Seorang Muslim senantiasa menjalankan Shaum/Puasa di bulan ramadhan sebagai bentuk tarbiyah bagaimana memanage kesehatan tubuh dan hawa nafsu dalam dirinya. Seorang muslim senantiasa melaksanakan haji ke Baitullah bagi yang telah di mampukan, sebuah simbol persatuan umat muslim seluruh dunia, berkunjung ke tempat yang Allah SWT jaga kesuciannya, bertandang ke pusat kiblat Shalat umat Muslim sedunia serta menjadikan perjalanannya sebagai perjalanan spiritual yang akan mencerahkan kehidupannya.
Seorang Muslim senantiasa menampilkan wajah keberimanannya. Bahkan ia akan memegang erat-erat keberimananya sampai digigit oleh gigi gerahamnya. Keteguhan mengimani Allah SWT dan menghambakan diri sepenuhnya. Tanpa ada yang namanya keselewengan keimanan berupa kesyirikan-kesyirikan dari yang kecil sampai yang besar. Seorang Muslim senantiasa beriman kepada para malaikatNya. Keberimanan terhadap malaikat ini harapannya dapat menumbuhkan sebuah karakter agar seorang muslim tidak seenaknya dan sembarangan berselancar di lautan kehidupan di dunia. Muslim yang baik senantiasa beriman pula kepada kitabullah yang di turunkan sebagai pedoman hidup. Ia senantiasa mencintai Al Qur’an, membacanya, menelaah makna dan tafsiranya, mempatrikan dalam diri berupa nilai-nilai implementasinya. Seorang muslim senantiasa beriman kepada Rasulullah dan para Nabi, meyakini apa yang di bawa dalam risalahnya. Mengikuti dan meneladani sang qudwah sebagai cetak biru manusia dalam menjalankan dien secara baik dan benar. Seorang muslim juga senantiasa beriman kepada hari kiamat. Mempercayai dan mempersiapkan amalan terbaik dan menyikapinya dengan positif atas kebenaran kabar yaumul akhir. Seorang muslim wajib pula senantiasa beriman kepada Qadha dan Qadhar Allah SWT baik yang buruk atau pun yang baiknya. Semuanya senantiasa di terima dengan ikhlas. Begitulah gambaran Muslim dari bidikan keberimanannya.
Seorang Muslim hendaknya mempersiapkan diri untuk terus meningkatkan kapasitas diri agar menjadi yang terbaik di setiap bidang kehidupan. Berusaha mengoptimalkan setiap potensi yang ada menggalidan terus mengembangkan dirinya. Berusaha meniru dan meneladani generasi terbaik untuk menjadi yang terbaik pula dalam hal keberiaman atau pun dalam hal-hal lain. Seorang Muslim senantiasa memunculkan karakter Salimul Aqidah menjaga agar ia tetap dalam aqidah yang selamat. Ia senantiasa menghadirkan karakter Shahihul Ibadah/ beribadah dengan kuat dan gigih, menjalankan syariat Islam berupa amalan-amalan ibadah yang benar namun tetap memperhatikan hal-hal lain seperti fiqh dan jangan sampai pula melahirkan amaln ibadah yang kemudian akan masuk kedalam kategori Bid’ah. Seorang muslim senantiasa mengolah karakter matinul Khuluq/ akhlaq yang kokoh sesuai ajaran agama dan di contohkan oleh Rasulullah SAW. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw ditutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman yang artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung (QS 68:4).Seorang Muslimsenantiasa mengolah jiwa dan raganya untuk membentuk qowiyyul jismi atau kekuatan jasmani Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Mu’min yang kuat lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah (HR. Muslim). seorang muslim yang baik Senantiasa mengasah kemampuan dan kafasitas pikir dan intelektualnya Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas) dan Al-Qur’an banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berpikir, misalnya firman Allah yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: “pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS 2:219). Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktivitas berpikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Bisa kita bayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu. Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS 39:9). Setiap muslim pula senantiasa. Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatul linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).
Setiap muslim yang baik senantiasa Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya. Allah Swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu”. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memanaj waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Saw adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
Muslim yang baik pula senantiasa teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya. Dengan kata lain, suatu urusan dikerjakan secara profesional, sehingga apapun yang dikerjakannya, profesionalisme selalu mendapat perhatian darinya. Bersungguh-sungguh, bersemangat dan berkorban, adanya kontinyuitas dan berbasih ilmu pengetahuan merupakan diantara yang mendapat perhatian secara serius dalam menunaikan tugas-tugasnya.
Pribadi muslim senantiasa memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Kareitu pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya raya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al-Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi. Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah Swt, karena rizki yang telah Allah sediakan harus diambil dan mengambilnya memerlukan skill atau ketrampilan.
Secara pribadi maupun komunal, Muslim yang baik senantiasa Bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi) merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Maka jangan sampai seorang muslim adanya tidak menggenapkan dan tidak adanya tidak mengganjilkan. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan inilah, Rasulullah saw bersabda yang artinya: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Qudhy dari Jabir).
Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, sesuatu yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar